Kamis, 19 Januari 2012

Hidayah Dari The Lord of The Ring





Tiba-tiba saja saya ingat mendapatkan hidayah hingga saya berjilbab seperti sekarang. Saat itu tahun 2004, saya memang ingin berjilbab tapi tidak saat itu. Saya berniat dua tahun lagi, akan jilbab, begitu pikiran saya saat itu.

Tapi Allah berkehendak lain. Allah memberikan hidayah dengan cara yang tidak disangka. Saat itu saya sedang menonton film The Lord of The Ring 3. Saya memang suka sekali nonton film, apalagi yang trilogy. Itu harus ditonton.

Awal menonton dengan suami berjalan dengan lancer, saya menikmati adegan demi adegan santai. Tapi entah kenapa pikiran saya langsung melayang, tiba-tiba saya gemetar ketika saya menonton salah satu adegan yang dialognya menceritakan kematian.

Yang saya ingat adegan tersebut ketika Gandalf (pria tua berambut putih) berada di ketinggian menara yang paling tinggi bersama si cebol. Mereka berdialog tentang peperangan yang bisa berakhir dengan kehancuran di muka bumi. Intinya mereka membicarakan tentang kematian, dan setelah kematian itu ada kehidupan yang lain.

Nah dikalimat soal kematian itulah saya mulai resah dan gelisah. Mati? Dosa saya masih banyak? Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi dosa? Lalu saya ingat untuk lebih dulu menutup aurat dengan cara berjilbab.
Sepanjang akhir film itu saya deg-degan dan gemetar. Saya jadi nggak konsen menonton film, karena pikiran saya penuh dengan Tanya jawab soal kematian dan dosa.

Hanya dalam waktu satu minggu akhirnya saya memutuskan berjilbab. Sebelumnya saya mencari kerudung dan jilbab di tanahbang. Pertama memakai bentuknya masih model standar. Saya merasa saat itu semua orang memperhatikan saya padahal nggak ada satu pun yang melirik.

Dan alhamdulillah saya merasa banyak mendapatkan perbedaan setelah berjilbab. Nggak ada lagi yang suit-suit, nggak ada lagi yang negor-negor jadi saya nggak perlu nyamperin para lelaki brengsek ini. naek bis dan angkot pun nyaman.

Teman-teman saya sampai takjub ketika menndengar hidayah saya dari film The Lord of The Ring. Malah ada seorang teman wartawan dari tabloid gossip nyeletuk.

‘’Kalau elo artis, seru juga tuh ditulis beritanya.”

Atau seorang teman lain nyeletuk juga. “Gila lo, hidayah dari film orang kafir”

Semuanya saya tanggepin dengan tertawa. Dan Alhamdulilah yah (gaya syahrini) sampai sekarang saya masih mempertahankan jilbab saya. Aminn.

Sabtu, 07 Januari 2012

Pulau Untung Jawa "Menyebrang Tingginya Ombak"





Menjelang pergantian tahun baru ke 2012 saya ingin merasakan suasana pantai. Ingin sesuatu yang berbeda karena biasanya suami selalu mengajak jalan keliling saja. Alhasil dia pun mencari info sebuah pantai yang tidak jauh dari Jakarta. Untuk pergi ke Bali tidak mungkin, tiket mahal, jauh dan cost lebih besar. Ke ancol lebih nggak mungkin, pasti rame dan nggak bisa menikmati, Anyer juga nggak mungkin jauh dan snagat macet. Akhirnya suami menemukan Pulau Untung Jawa yang masih berada di kawasan Kepualuan Seribu, DKI Jakarta. Laut ini masih berdekatan dengan Ancol tapi dari sisi yang berbeda.

Akhirnya saya googling tentang pulau ini dan suami mencaari info ke beberapa temannya. Melihat gambar dari google sih kelihatan keren. Air lautnya masih biru dan bening terlihat pasir pantai yang putih (berbeda dengan Ancol yang sudah berwarna menghitam). Saya langsung naksir. Suami mendapatkan info tempat itu fasilitas masih kurang, air, listrik, dan buat anak-anak jika menginap kurang nyaman.

Ketika akan berangkat saya prepare membawa baju lebih kalau ada suatu hal kita harus menginap. Karena di sana belum ada hotel atau motel tapi Cuma homestay. Masyarakat sana menyediakan kamar menginap jadi seperti tempat kost-kostan. Kita pun pergi dari rumah di Serpong sekitar pukul 10.00 pagi ke Tanjung Pasir dulu, Cengkareng. Parker mobil di AL Tanjung Pasir dengan biaya Rp 28.000 bersama mobil. Lalu pas turun dari mobil sudah ada orang yang menawari untuk naik perahu dengan biaya per-orang Rp 20.000. Meski anak-anak juga bayar, anak saya Sulthan (9)  dan Rafa (6).

Lalu kita berjalan di mana pinggiran pantainya sangat jorok. Sampah bertebaran di mana-mana, bau. Kita melewati sebuah tembok di pinggiran pantai. Sepertinya untuk membatasi lokasi AL dengan parkiran umum. Di sana sudah terlihat banyak perahu nge-tem di bibir pantai. Lagi-lagi kita disambut dengan joroknya lingkungan skeitar. Di bibir pantai banyak sekali sampah yang dibuang masyarakat, bahkan saya melihat ada kucing mati yang mengambang.  Tak jauh dari sana ada dua anak kecil yang mandi bertelanjang dan kucing mati tersebut dijadikan bahan mainan. Airnya pun kotor, kecoklatan.

Lama juga kami menunggu agar perahu itu penuh penumpang. Nyaris 1 jam kami menunggu hingga akhirnya perahu berangkat. Ternyata jika ingin pulang hari, kita disatukan paket membayarnya sekaligus untuk pulang. Jadi kita janjian sama mereka jam 5 ditunggu di pelabuhan mini darurat di pulau tersbeut pukul 17.00

Selama 30 menit kita nyebrang menuju ke Pulau Untung Jawa. Semuanya berjalan dengan lancer, kedua anak saya senang, juga ada burung berterbangan. Di kejauhan terlihat pulau Untung Jawa,, ketika semakin mendekat disambut dengan lorong panjang yang mengingatkan saya melakukan perjalanan ke Batam beberapa tahun lalu. Kita pun sampai di sana dan foto-foto. Dismabut dengan rumah-rumah penduduk yang banyak bertuliskan homestay. Di sebelah kiri terlihat banyak anak-anak bermain di air, banya tenda, banana boat dan lain sebagainya.

Karena perut keroncongan kita berbelok ke kiri mencari makanan laut. Ternyata di sana kita mmasuk lokasi wisata dengan membayar Rp 2000. Sangat disayangkan pulau kecil ini tidak terurus dnegan baik, perumahan penduduk yang kebanyakan penghasilan sebagai nelayan itu hidup dalam keterbatasan. Tempat wisatanya pun kering kerontang, kotor, . setelah memesan makanan ikan baker dan udang kita mencari tempat di pinggir pantai dengan menyewa tiker seharga Rp 10.000 sepuasnya. Ternyata, di pulau tersebut tak ada pasir sodara-sodara. Semuanya dipenuhi kerang-kerang kecil, dan HATI-HATI. Banyak percahan beling berwarna coklat berbau dengan kerang.

Anak-anak bermain air, saya menikmati pemandangan. Aingin begitu kencang hingga menerbangkan tenda, tikar dan piring plastic. Saya melihat keadaan seperti itu menjadi yakin untuk tidak menginap di sana karena hiburan yang menyenangkan pun tidak ada. Setelah itu kita menunju ke bibir pantai di depan di mana kita baru datang ke pulau tersebut.

Saya dan anak-anak menyewa sepeda seharga Rp 5000. Mengikuti jalan di seputar pulau semuanya nyaris menyediakan tempat untuk menginap. Di sana juga ada puskesmas, Kantor kelurahan, Sekolahan hanya sampai jenjang SMP. Yang saya suka adalah keripik sukun. Sekilas mirip tales. Buah sukun yang dipotong tipis lalu digoreng hingga garing. Rasanya gurih, enak dan bikin ketagihan. Saya membelinya di depan mesjid ada sekelempok ibu yang sedang memotong lalu menggorengnya menjual satu plasti kecil seharga Rp 6000. Suami saya pernah membeli di dekat penyewaan sepeda lebih mahal seharga Rp 7000.

Setelah puas makan, naek sepeda anak saya bermain air lagi di bibir pantai. Sudah jam 5 sore, perahu pelanggan kami tak terlihat di dermaga yang tadi kami diturunkan. Angin begitu kencang,ombak makin besar, sudah lewat jam 5, kenek perahu yang membawa kami menghampiri dan siap menyebrang pulau. Mereka ngetem dekat sekolahan di mana ombak tidak sebesar di dermaga.

Kami pun naik perahu dengan tak lupa membaca doa. Ternyata balik ke tanjung pasir tidak seasick waktu kita pergi. Angin begitu kencang diiringi ombak yang besar, saya sudah mulai was was melihat perahu yang tumpangi bentuknya standar. Miring sedikit saja kami bisa jatuh ke laut. Beberapa orang yang tadi tertawa-tawa mulai panic. Seorang ibu yang menggendong cucunya tak berentik berdoa dengan wajah pucat. Sama halnya dengan saya yang terus berdoa sambil memegang kedua anak saya. Kedua anak saya ketakutan, suami saya lebih banyak tersenyum untuk menenangkan meski npun hatinya dag dig dug.

Saat itu pikiran saya sudah jelek saja, bagaimana kalau kita terjatuh ke laut sedangkan saya melihat hanya 2 pelambung yang bertengger di atas kepala kami. saya terus berdoa dan mengucapakan bacaan yang sayya ingat. Yang agak menenangkan hanya para kru perahu tersebut yang terlihat santai. Mereka mengobrol, merokok, tertawa bahkan dengan enaknya berjalan dipinggiuran perahu yang bisa sewaktu-waktu menghempaskan tubuhnya ke laut.

Saat itu saya hanya memikirkan kedua anak saya, tidak ada yang bisa berenang d antara kami berempat. Setelah 30 menit melewat saat-saat yang menegangkan, akhirnya perlahan kami sampai di tanjung pasir dengan selamat. Alhamdulillah. Saya kapok pergi menyebrang pulau tanpa menginap ketika cuaca seperti sekarang.  SALAM (alsyacomm@gmail.com)